13 November 2018

Perbedaan

Leave a Comment



Setiap dari kita pasti punya grup whatsapp. Macam-macam, mulai dari grup whatsapp keluarga, kawan dekat, kawan les, dan bahkan organisasi. Biasanya grup whatsapp diramaikan karena banyak hal; tugas-tugas, sepak bola, bencana, musibah, kajian, dan pengumuman-pengumuman lainnya. Namun, mendekati pemilu. Semua manusia seakan ingin show up agar dianggap intelek dan cendekia. Pelajar sekolah dasar pun dengan bangga mendukung pilihan keluarganya, walau ia sendiri belum memiliki KTP.

Awalnya berkawan baik, setelah membahas pemilu, mereka berantem. Membahas pemilu menjadi sarana memutus silaturahim.

Slank bilang “Walaupun kita tak sama, tapi kita gak boleh berantem”.

Perbedaan memancing permusuhan. Muka dan kepriadian kita berbeda satu dengan yang lainnya, akan kah kita bermusuhan?

Beda tim kesayangan, dibunuh. Beda suku, dibunuh. Beda agama, dibunuh. Agama sama, tapi beda aqidah, tetap dibunuh. Dalam persamaan pun ada perbedaan.

Semua orang ingin yang lainnya satu suara, makanya grup whatsapp ramai bahas pemilu. Dukung partai ini, partai lain korupsi. Dukung wakil presiden ini, wakil presiden itu jelek. Terus saja seperti itu, sampai Sukabumi berubah nama jadi Sukakamu.

Manusia memang diciptakan berbeda-beda. Namun manusia diciptakan untuk bersatu. Adam dan Hawa jelas berbeda, tapi mereka bersatu. The Jak dan Viking berbeda, harusnya mereka bersatu. Perbedaan menimbulkan pasangan. Banggalah saya tinggal di Indonesia, semboyannya saja ‘Bhinneka Tunggal Ika’, berbeda-beda tapi tetap satu jua.

Perbedaan itu rahmat, perbedaan itu indah. Perbedaan itu harus diterima, bukan disanggah. Hiduplah dalam perbedaan dengan bertoleransi.

“Bagiku agamaku, bagimu agamamu”.

Read More

07 November 2018

Isu-isu Yang Berubah Menjadi Asu

Leave a Comment


Belakangan banyak sekali isu-isu yang tampak ke permukaan. Isu komunis, isu wahabi, dan isu kehamilan Lucinta Luna menjadi isu top three yang kerap kita lihat di sosial media. "Bisa gak sih netizen gak ikut campur urusan orang lain?!" ketik seseorang di laman komentar selebgram, tanpa ia sadari dirinya telah mengikut campuri urusan orang lain.

Banyak pembela NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia) yang termakan oleh isu komunis. Rasa cinta terhadap negara meningkat, rasa benci terhadap komunis juga semakin meningkat. Banyak pembela ustaz ahlussunnah juga termakan isu wahabi. Rasa cinta terhadap ustaz ahlussunnah meningkat, rasa benci terhadap wahabi juga meningkat. Urusan kehamilan Lucinta Luna, hanya orang-orang yang terlalu memaksakan nalar yang mempercayainya.

Ini wajar, karena apa yang mereka cintai seakan diusik oleh keberadaan isu-isu tersebut. "Dasar komunis bangsat", "Dasar wahabi anjing", dan "Dasar Lucinta Tai" komentar netizen.

Membela negara dan agama adalah sebuah kewajiban, membela Lucinta Luna adalah sebuah kegabutan. Tetapi memaki dan berburuk sangka bukanlah solusi. Kelebihan kita, membela mati-matian. Kekurangan kita, doyan memaki.

Netizen pun gamam bukan kepalang, berkoar dianggap salah, diam dianggap tidak benar. Kelabu memang, tidak ada bedanya seperti lelaki menghadapi wanita PMS. Serba salah. Makanya Raisa bikin lagu judulnya serba salah. Itu untuk kalian para lelaki.

Penebar isu tidak akan hilang sampai Dajjal dan Ya'juj Ma'juj musnah. Itu berarti, isu-isu akan selalu hadir berdampingan dengan hidup manusia di muka bumi. Semakin kita marah akan isu, semakin senang si penebar isu. Karena memang itu yang mereka inginkan, kebencian. Kalau ingin hidup tanpa isu, cobalah ke planet Mars.

Read More

06 November 2018

Lari Dari Masalah

Leave a Comment


“Lari dari masalah enak banget yah” ujar seorang remaja setelah melihat Setya Novanto berusaha kabur dari penyidik.

Setiap makhluk hidup sudah pasti memiliki masalah. Mulai dari amoeba, plankton, jaguar, platipus, cekibar, paus biru, dan bahkan manusia pernah menghadapi masalah. Banyak yang lari dari masalah, banyak juga yang menghadapinya. Menghadapi masalah, ada dua kemungkinan; Berhasil dan Gagal.

Baru-baru ini saya tertimpa banyak masalah; masalah percintaan, masalah pertemanan, masalah kuliah, dan berbagai masalah lainnya. Seandainya masalah datang dengan permisi, sudah pasti ia tidak akan saya persilakan masuk. Biarlah ia di luar, biar pergi dengan sendirinya.

Sayangnya tidak, masalah tidak seperti itu. Ia datang tak pernah permisi, tak pandang bulu, tak kenal waktu, tak tik dum wer.

Minggu lalu saya dijauhi kekasih, kemarin kaki saya keseleo, hari ini bisnis kecil-kecilan saya dan teman saya gagal, besok saya hidup galau.

Saya belajar dari pengalaman yang sudah lalu. Selain polisi nakal, masalah juga harus dihadapi. Setiap ada masalah, saya berusaha selalu mengucap syukur alhamdulillah, walau itu berat.

Masalah membuat manusia yang mengalaminya merasa tak hidup, tapi tak juga mati. Hidup merasa tidak berwarna, mimpi seakan buyar, hidup serasa fana, walau memang sudah seharusnya. Hidup segan mati pun tak mau.

Saya selalu berbaik sangka, bahwa masalah datang untuk menguji kita. Saya juga yakin, Allah menurunkan masalah sesuai kesanggupan makhluknya. Jika ada masalah, lebih baik berdoa, sebab bicara belum tentu didengar, menulis belum tentu dibaca, berseni belum tentu dihargai.

Beberapa orang lebih memilih memendam masalah dan tidak mengumbarnya, beberapa lagi memilih melakukan hal-hal gila. Saya mencoba memendamnya dengan melakukan hal-hal gila. Namun ternyata yang saya butuhkan adalah perhatian. Perhatian memang penting, terlebih perhatian dari orang tersayang. Seandainya saya tidak dapat perhatian, mungkin saya sudah terlanjur menjadi gila seperti orang-orang gila pada umumnya.

Ingin lari dari masalah, namun rasanya terlalu cemen. Hadapi setiap masalahmu, bersabar di setiap masalahmu, dan jangan lari dari masalahmu. Lari dari masalah malah memperburuk masalah itu sendiri. Setya Novanto contohnya.
Read More

24 October 2018

Menangislah Jakarta

Leave a Comment


Saat saya mengenyam pendidikan di sekolah dasar (SD), ada dua mata pelajaran yang kala itu sangat saya cintai; Pelajaran Agama dan Pelajaran PLKJ (Pendidikan Lingkungan Kebudayaan Jakarta).  Ternyata sudah sedari dulu saya mencintai apa yang dicintai warga Jakarta kini butuhkan, religuis dan cinta Jakarta.

Pelajaran Agama, membahas tentang keesaan Tuhan, berbuat baik, beramal saleh dan lain sebagainya. Dengan kata lain, Agama mengatur kehidupan manusia. Sementara pelajaran PLKJ, membahas tentang lingkungan, kebudayaan Jakarta dan asal muasal kota Jakarta. Singkatnya, pelajaran ini mengajarkan arti melestarikan dan arti menjaga lingkungan kebudayaan Jakarta.

Sejak dini warga Jakarta dididik untuk berbuat baik dan mencintai lingkungan. Lain lagi urusan mencintai gebetan, itu bisa belajar sendiri. Tapi ketika beranjak dewasa, warga Jakarta lebih mencintai gebetan dari pada mencintai lingkungan.

Tidak mencintai gebetan berdampak menjauh dan dijauhi secara personal, tidak mencintai lingkungan berdampak banjir, polusi udara, kerusakan ekosistem secara jemaah.

Seandainya kota Jakarta bisa bernyanyi, sudah pasti ia akan menyanyikan lagunya The Banery yang berjudul 'Karena Dia' sambil menunjuk manusia.

Kita terkadang kalah oleh permainan yang kita buat sendiri. Ya, permainan masa bodoh. Yang namanya permainan, lebih condong ke arah mudarat. Hasilnya apa? Alhasil demo dengan embel-embel 'Turunkan Pemerintah, Turukan Gubernur, Turunkan Lurah, Turunkan RT, Turunkan harga air bersih" mencuat ke khalayak ramai.

Mereka tidak sadar, yang sebenarnya harus diturunkan bukanlah pemerintah, gubernur, lurah, RT, apalagi harga air bersih. Tapi, ego dan sikap masa bodoh mereka.

Read More

22 September 2018

Pria Tidak Berdaya

1 comment

"Udah med, lu kan lucu. Gue yakin kok, banyak cewek yang nyaman sama elu" hibur seorang 
perempuan melihat gue galau saat tahun 2017 lalu.

***

Membicarakan cinta memang tidak akan ada habis-habisnya. Cinta itu suci, indah, memukau, mudah, dan pokoknya keren lah. Urusan cinta berakhir dengan buruk dan tidak sejalan lagi, itu mutlak kesalahan pecintanya, bukan cintanya. Cinta tidak pernah salah, sama kayak wanita PMS, tidak 
pernah salah.

Dua postingan terakhir gue selalu berkaitan dengan percintaan. 
Jatuh cinta, menulis. 
Patah hati, menulis.

Kayaknya gue harus sering-sering jatuh cinta dan patah hati deh, biar istiqomah menulisnya.
Sejauh dua puluh tahun gue malang melintang di dunia yang bernama Bumi ini, belum pernah sekali pun gue merasakan pacaran. Bisa dibilang ini sebuah prestasi, bisa dibilang ini sebuah kutukan juga.
 Bukan gak tertarik sama lawan jenis. Justru mungkin rasa tertariknya lebih besar dibanding orang-orang yang sering pacaran. Kalau gak percaya, coba deh. Kayak ada manis-manisnya gituh!

Dari SD, gue lebih sering terjebak dalam zona friendzone. Berteman dekat, sering SMSan, chatting bareng, tau sama-sama suka. Tapi ya itu, gue lemah. Gak berani mengungkapkan. Mungkin, kalau ada pemilihan orang terlemah sedunia, kayaknya gue terpilih deh. Skill nembak gue berada di inti bumi.

Kebiasaan gue dari SD ternyata terbawa sampai gue masuk SMP, SMA, Pesantren, dan kuliah. Nampaknya kalimat dari kitab ushul fiqh yang berbunyi: "Al'adatu Muhakkamah", yang berarti, "kebiasaan yang dipertimbangkan menjadi hukum" melekat dengan gue. 
Kebiasaan gue yang selalu terjebak dalam friendzone dan lemah nampaknya sudah menjadi hukum. Dan yang namanya hukum, sangat berat untuk dilanggar.

Memasuki pesantren, gue menguatkan tekad untuk tidak jatuh cinta dengan santriwati, itu prinsip. Nggak tau kenapa, karena menurut gue saat itu terlihat norak aja. Tanpa gue sadar, gue juga adalah seorang santri. Dan besar kemungkinan orang-orang selain santri juga menilai gue norak, yang basically gue seorang santri. It's fair. 

Tahun pertama, kedua, dan ketiga berjalan lancar. Gue masih berpegang teguh dengan prinsip gue. Setan mulai menggoda di tahun keempat, tahun terakhir di Pesantren. Gue jatuh cinta pada pandangan pertama dengan gadis Sukabumi, dari mata turun ke hati. Terus menetap di sana. Kalau ini malaikat. hehe
Tanpa ngobrol, tanpa kenal, tanpa hubungan sebelumnya, gue langsung cinta. Bahkan sampai sekarang. Udah kayak pesulap 

Cinta terindah bagi gue adalah cinta yang timbul saat pandangan pertama, lalu turun ke hati. Akhirnya gue dan gadis Sukabumi berhubungan layaknya yang gue ceritakan di postingan sebelumnya.

Cinta datang dari berbagai penjuru. Kalau ditulis seakan sombong, tapi gue termasuk ke dalam golongan orang-orang yang lebih banyak menolong ketimbang ditolong, apalagi sama cewek. Kalau ada cewek yang minta tolong tapi gak gue tolong, cuma ada dua kemungkinan; 
  1.  Dia transgender
  2.  Dia berak jongkok di WC duduk
Setelah gadis Sukabumi, kisah cinta gue berlanjut ke gadis Tangerang, sandal baru gue. Berawal dari chattingan, saling canda, dan akhirnya timbul rasa. Saking seringnya dan menjadi suatu kebiasaan. Namanya selalu masuk top three deretan pesan WhatsApp. Awalnya hanya menjadi pendengar, lalu mulai peduli, dan  pada akhirnya ingin memiliki. Itu gue. Seiring berjalannya waktu, gue pun jadi cinta sama dia. Gue yakin, dia juga merasakan hal yang sama. Kita bertemu dengan keheningan yang sama, lalu saling mengisi. Hingga akhirnya kita membicarakan hubungan ini. Guenya gak ngasih ikatan status yang jelas, dianya juga gak memaksakan status. Kita sepakat hubungan ini biarlah mengalir saja. Kalau dihitung-hitung, arsip chat antara gue dan dirinya sangat banyak, bisa tuh dijadiin buku. Satu hal yang gue inget, setiap jam 02:00 AM, hape gue selalu back up pesan, saking banyaknya chat antara kita berdua. Karena cinta pula, saat ia membutuhkan sesuatu. Gue berusaha ada untuknya, walau gue ada kepentingan lain. Hubungan tanpa kepastian memang tidak sehat. Tidak baik untuk kedua belah pihak. Setan pun berhasil memainkan perannya. Setan selalu disalahkan. Makanya wajar setan mengganggu manusia. 

Kata-kata 'aku kamu' dan 'sayang, beb' pun muncul, entah siapa yang memulainya. Merasa tidak adil kalau gue bilang dia yang mulai, pencarian terbaik adalah dirinya, pembahasan terbaik adalah tentangnya, dan rindu terbaik adalah dengannya, saat jatuh cinta. intinya kita berdua adalah dua manusia yang saling dimabuk cinta. Bahkan, saat jatuh cinta pun, gue berijtihad mencari-cari kesukaannya, lalu menyesuaikannya dengan kesukaan gue.  

Dulu gue sering baca di twitter, "pacar bukan, tapi sayang-sayangan. Ada", ternyata gue mengalami itu. Kita berdua sepakat untuk tidak membeberkan hubungan ini ke media sosial. Bisa dibilang ini hubungan backstreet. Gue pun memiliki rutinitas fleksibel untuk membangunkan ia dari tidur, yaitu rutinitas misscall. Tanpa sadar, walau gue gak pacaran dengannya. Tapi, dengan memanggilnya dengan panggilan mesra. Yaa itu tidak benar.

Dulu, gue brutal dalam urusan cinta. Bisa dibilang posesif, walau tidak pacaran. Tapi gue cemburuan, hingga gadis pujaan hati risih dan akhirnya menjauh. Itu yang membuat gue trauma, walaupun gue tau gak semua orang sama. Kini, gue lebih ke arah cuek. Semuanya, ya karena gue gak mau kehilangan dia.

Gue gak tau, akhir-akhir ini dia ngebales chat dari gue singkat banget, udah kayak telegraf yang bayar perkarakter. Dia bilang, dirinya butuh ruang sendiri. Beberapa hari setelah tak berkabar, nampaknya ia betah dengan kesendirian. Saat gue confirm, ternyata benar. Ia ingin menetralisir perasaannya. Tanpa kepastian yang jelas, semuanya menjadi kelabu, hati akan menerka hasil terburuk. Lebih baik biasa saja, biar gak ada yang saling menyakiti. Begitu tulisnya.

Gue gak tau dan gak pandai memahami wanita. Memahami wanita memang paling susah, gue yakin Alexander The Great kalau dikodein sama ceweknya juga gak bakalan peka. Susah emang. Yang gue tangkep dari maksud chat dia adalah, dia betah dengan ruang sendirinya tanpa ada sebiji Ahmed pun dihidupnya. Dan dia ingin biasa aja, biasa aja kayak sikap dia ke mamang-mamang ketoprak deket rumah. Iya, sekarang strata hubungan gue ke dia sama kayak hubungan dia ke mamang-mamang ketoprak. Biasa aja. Ia yakin, jodoh tidak akan kemana-mana. Hari ini saya belajar, bahwa yang 
namanya jodoh emang tidak akan ke mana-mana, tapi kita yang akan ke mana-mana. (

Semua kebiasaan yang gue lakukan juga sulit dihilangkan, ibarat lu biasa berak jongkok, tiba-tiba 
dipaksa berak duduk. Sungguh adaptasi yang berat. Kebiasaan memisscall misalnya, setiap jam 11:00  malam, timbul hasrat untuk membangunkan ia yang jauh di sana, perbedaan waktu sekitar 5 jam membuat gue membangunkan ia jika ia minta untuk melakukan aktivitasnya. Kebiasaan ngomong 'aku kamu' juga. Semenjak chat dia sudah tidak menggunakan 'aku kamu' memang sudah ada tanda-tanda perubahan. Tapi ya itu, udah kebiasaan mah susah. Emang lebay sih, ini kali pertama gue mencintai wanita, yang wanitanya tau gue cintai, dan berjalan baik cukup lama. Gue gak kehilangan dia, gue hanya kehilangan kebiasaan bersama dia. Melepasnya ialah tentang bagaimana cara membuat terbiasa.

Intinya dalam postingan ini gue cuma mau memberi informasi kepada pembaca yang budiman, bahwa memang tidak ada wanita yang ingin digantung status hubungannya. Teman ya teman, pacar ya pacar, tukang ojek ya tukang ojek. Ketika teman merangkap menjadi pacar sekaligus tukang ojek, tunggulah tanggal kehancurannya. Hehehe

Cinta juga datang dari berbagai hal; dari pandangan pertama, dari kebiasaan, dari permintaan hati, dari caranya melakukan sesuatu, dari jawa a an aden aden #PakTarno. 

Selucu apapun dirimu, kalau urusan cinta ya memang butuh keseriusan. Lucu hanya menunjang kenyamanan dalam hubungan. Semoga kisah cintamu tidak selucu kelakuanmu. Cinta bukan sekadar ketergesa-gesaan, ia butuh kesiapan. Dia meremukkan hatimu untuk mendekonstruksi menjadi hati yang baru dan lebih kuat.

Kepadamu, terimakasih untuk keberanianmu pernah mengorbankan waktu menunggu
ketidakjelasanku. See u on top. Muah. #Hmmmmmmm1JamNissaSabyan 



inspired by agstt
Read More

10 May 2018

Kisah Pemuda Yang Jatuh Cinta Pada Sandal

1 comment
Malam itu gue merasa dilema yang sangat dalam, gak tau harus senang atau harus sedih. Anjir lebay bat gue dah kayak bencong baru akil baligh

Jujur, gue gak tau mau nulis apa. Niat mau nulis udah ada dari zaman gue masih jadi sperma gak deng, cuma ngumpulin mood nulisnya yang susah, udah kayak ngumpulin huruf ‘N’ pada permen YOSAN, sulit. Apa yang gue pikir, gak sama dengan apa yang gue tulis. Udah nulis beberapa kalimat, hapus lagi, nulis lagi, hapus lagi. Karena merasa tulisan yang gue tulis gak oke. Gituh aja terus sampai Rudy Tabuty masuk pesantren. 

Gue tipe orang yang gak nyaman bersepatu. Jadi, hidup gue lebih sering gue habiskan untuk bersandal ketimbang bersepatu. Sandal kesayangan yang setia menemani langkah gue bepergian kemana pun itu kecuali kalo bersepatu telah rusak, udah gak mungkin lagi dibenerin. Sekalinya dibenerin pun bakalan rentan.

Sedih?

Ya bisa dibilang begitu, sandal itu memiliki banyak cerita pahit-manis bagi gue.
Saat gue jatuh cinta dengan gadis Sukabumi, sandal itu cukup berjasa.
Saat gue bener-bener jatuh karena cinta pun, sandal itu sangat berjasa.
Sandal mungil dan cerita cinta yang megah. Jujur, meninggalkannya sudah terasa pahit sejak dalam niat.

Ngapain sih bahas sandal nih si Ahmed? Gak penting kampret

Sandal kesayangan di atas ibarat mantan [mantan gebetan maksudnya] hehehe.
Sering chat-an, kode-kodean, telepon-teleponan, merasa ada yang hilang kalau tidak berkabar, sampai gue mabuk cinta bukan kepalang. Tapi apa boleh buat, kalau sudah waktunya rusak. layaknya sandal, hubungan juga akan rentan. Apalagi gue tidak memberikan kepastian. Paanci luh med

Memang benar, mabuk cinta membutakan mata. Rela melakukan apa aja demi gebetan. Semua kekurangannya berasa ditutupi oleh cinta gue yang besar kepadanya. Sampai-sampai ngelakuin hal-hal aneh yang kalau gue pikir sekarang
'Kok bego banget sih gue’ 
'Kok mau aja sih lu!'

Rusak sandal, rusak hubungan. Mungkin gebetan gue itu telah menghadapi realita dari menjalani suatu hubungan, apalagi hubungan gak jelas. Ngegantung, kayak jemuran yang udah lama dijemur. Mengkerut. Realita dari suatu hubungan adalah rasa bosan dan hasrat mencari yang baru. Mungkin itu yang melandanya. Sebelum berevolusi menjadi bosan, perasaan itu pernah berwujud nyaman.

Ketika sandal gue sudah tidak bisa lagi dipakai, ada jeda sekitar beberapa bulan hingga akhirnya gue punya sandal baru. Awal-awal memang merasa kehilangan, tidak rela, tidak ikhlas. Aneh memang, jatuh cinta seujug-ujug itu. Banyak orang bilang ‘move on lah, lupain lah, format tuh hati’. 

Dari dulu, dari SD tepatnya, gue selalu menyimpan segala kenangan-kenangan apa pun itu. Dompet gue dipenuhi berkas-berkas gak jelas; Karcis bioskop lah, struk PLN lah, bon salon lah, bon indomaret lah, tulisan temen gue pas SMP lah, apapun itu yang gue rasa patut disimpen ya gue simpen. Bagi gue, kenangan itu ya disimpan. Bukan dilupakan, dihapus, dibakar, apalagi diludahi. Semenyakitkan apapun, toh itu cuma kenangan. Ya untuk dikenang.
Kita berdua nampaknya hanyalah dua orang yang senang membohongi perasaan masing-masing, pura-pura tidak peduli, hingga akhirnya patah hati. Preet itumah elunya aja med

Perlahan, gue bisa merelakan sandal gue. Merelakan bukan berarti cuek sepenuhnya. Merelakan itu ketika kita tidak keberatan menghadapi apa pun, sadar punya masa lalu tapi tak melihat itu sebagai penghalang.

Sampai sekarang pun, kita masih berhubungan baik. Ya sekadar memberi ucapan ulang tahun, balas-balasan insta-story bila pun perlu.
Gue juga masih sering dengerin, nge-like­, komen-komen gak mutu saat dia siaran radio.
Begitu pun dengan sandal gue, masih tetap gue sayang dan gue simpan di kotak sakral gue.
Kecil kemungkinan gue pakai,
besar kemungkinan gue buang.

Lantas,

Sandal barunya?

Yaps, setelah berhari-hari gue minjem sandal temen gue, akhirnya gue punya sandal baru. Butuh adaptasi untuk mencocokkannya dengan sikil  bau wangi gue. Awal-awalnya, kaki gue sering lecet. sampai sekarang masih sih

Belajar dari sandal pertama, gue jadi lebih jago dan terlatih dalam menahan perasaan. Jarak terlampau jauh, hingga linimasa/sosial media menjadi ruang baru. Sebenernya gue gak berani bilang sandal kedua gue ini adalah gebetan. Gue anggap sahabat, tapi nampaknya setingkat di atas itu. Bahkan sekadar jatuh cinta padanya pun gue gak tega. I dont know why, rasa-rasanya dia terlalu berharga untuk sekadar dijadikan pacar.

Merasa nyaman padahal belum terbiasa. Iya, semudah itu. Dengan tidak mencintainya secara brutal. Gue rasa, dapat menjaga perasaan ini agar tetap ada. Jadi, gue dan sandal gue ini tidak dekat atau pun jauh, tidak melepas atau pun menggenggam, kita hanya sedang menunggu waktu kapan akan benar-benar disatukan atau pun dipisahkan. Hilih

Dan gue juga belajar, berhubungan itu bukan bagaimana cara pamer, tapi tentang bagaimana cara agar merasa nyaman. Makanya sandal baru gue ini gak terlalu gue ekspos.

Entah, sandal baru gue ini akan bernasib sama seperti sandal lama gue apa enggak. Ingin rasanya melengkapi, namun takut membuatnya tidak seimbang. Ingin menyeimbangi, namun takut tidak stabil.

Layaknya sandal pertama, sandal kedua pun datang memberi kenyamanan. Gue jadi nyaman kemana pun itu. Berhubungan lewat linimasa, mengobroli hal-hal unfaedah, mendengarnya siaran, memperdulikannya, mendengar kisah-kisahnnya. Semua timbul begitu saja, seperti tersihir, apa gue mabuk cinta lagi? Tau ah

Satu hal yang gue gak bisa belajar dari sandal pertama adalah ‘mengungkapkan’. Maaf jika gue tidak pandai mengungkapkan, maaf jika gue tak pernah memberi ikatan jelas di antara kita.
Duhai cinta, apakah engkau akan menjaga diri di saat kita belum bersama? Hehehe


Inspired by : agstt

Read More