10 May 2018

Kisah Pemuda Yang Jatuh Cinta Pada Sandal

1 comment
Malam itu gue merasa dilema yang sangat dalam, gak tau harus senang atau harus sedih. Anjir lebay bat gue dah kayak bencong baru akil baligh

Jujur, gue gak tau mau nulis apa. Niat mau nulis udah ada dari zaman gue masih jadi sperma gak deng, cuma ngumpulin mood nulisnya yang susah, udah kayak ngumpulin huruf ‘N’ pada permen YOSAN, sulit. Apa yang gue pikir, gak sama dengan apa yang gue tulis. Udah nulis beberapa kalimat, hapus lagi, nulis lagi, hapus lagi. Karena merasa tulisan yang gue tulis gak oke. Gituh aja terus sampai Rudy Tabuty masuk pesantren. 

Gue tipe orang yang gak nyaman bersepatu. Jadi, hidup gue lebih sering gue habiskan untuk bersandal ketimbang bersepatu. Sandal kesayangan yang setia menemani langkah gue bepergian kemana pun itu kecuali kalo bersepatu telah rusak, udah gak mungkin lagi dibenerin. Sekalinya dibenerin pun bakalan rentan.

Sedih?

Ya bisa dibilang begitu, sandal itu memiliki banyak cerita pahit-manis bagi gue.
Saat gue jatuh cinta dengan gadis Sukabumi, sandal itu cukup berjasa.
Saat gue bener-bener jatuh karena cinta pun, sandal itu sangat berjasa.
Sandal mungil dan cerita cinta yang megah. Jujur, meninggalkannya sudah terasa pahit sejak dalam niat.

Ngapain sih bahas sandal nih si Ahmed? Gak penting kampret

Sandal kesayangan di atas ibarat mantan [mantan gebetan maksudnya] hehehe.
Sering chat-an, kode-kodean, telepon-teleponan, merasa ada yang hilang kalau tidak berkabar, sampai gue mabuk cinta bukan kepalang. Tapi apa boleh buat, kalau sudah waktunya rusak. layaknya sandal, hubungan juga akan rentan. Apalagi gue tidak memberikan kepastian. Paanci luh med

Memang benar, mabuk cinta membutakan mata. Rela melakukan apa aja demi gebetan. Semua kekurangannya berasa ditutupi oleh cinta gue yang besar kepadanya. Sampai-sampai ngelakuin hal-hal aneh yang kalau gue pikir sekarang
'Kok bego banget sih gue’ 
'Kok mau aja sih lu!'

Rusak sandal, rusak hubungan. Mungkin gebetan gue itu telah menghadapi realita dari menjalani suatu hubungan, apalagi hubungan gak jelas. Ngegantung, kayak jemuran yang udah lama dijemur. Mengkerut. Realita dari suatu hubungan adalah rasa bosan dan hasrat mencari yang baru. Mungkin itu yang melandanya. Sebelum berevolusi menjadi bosan, perasaan itu pernah berwujud nyaman.

Ketika sandal gue sudah tidak bisa lagi dipakai, ada jeda sekitar beberapa bulan hingga akhirnya gue punya sandal baru. Awal-awal memang merasa kehilangan, tidak rela, tidak ikhlas. Aneh memang, jatuh cinta seujug-ujug itu. Banyak orang bilang ‘move on lah, lupain lah, format tuh hati’. 

Dari dulu, dari SD tepatnya, gue selalu menyimpan segala kenangan-kenangan apa pun itu. Dompet gue dipenuhi berkas-berkas gak jelas; Karcis bioskop lah, struk PLN lah, bon salon lah, bon indomaret lah, tulisan temen gue pas SMP lah, apapun itu yang gue rasa patut disimpen ya gue simpen. Bagi gue, kenangan itu ya disimpan. Bukan dilupakan, dihapus, dibakar, apalagi diludahi. Semenyakitkan apapun, toh itu cuma kenangan. Ya untuk dikenang.
Kita berdua nampaknya hanyalah dua orang yang senang membohongi perasaan masing-masing, pura-pura tidak peduli, hingga akhirnya patah hati. Preet itumah elunya aja med

Perlahan, gue bisa merelakan sandal gue. Merelakan bukan berarti cuek sepenuhnya. Merelakan itu ketika kita tidak keberatan menghadapi apa pun, sadar punya masa lalu tapi tak melihat itu sebagai penghalang.

Sampai sekarang pun, kita masih berhubungan baik. Ya sekadar memberi ucapan ulang tahun, balas-balasan insta-story bila pun perlu.
Gue juga masih sering dengerin, nge-like­, komen-komen gak mutu saat dia siaran radio.
Begitu pun dengan sandal gue, masih tetap gue sayang dan gue simpan di kotak sakral gue.
Kecil kemungkinan gue pakai,
besar kemungkinan gue buang.

Lantas,

Sandal barunya?

Yaps, setelah berhari-hari gue minjem sandal temen gue, akhirnya gue punya sandal baru. Butuh adaptasi untuk mencocokkannya dengan sikil  bau wangi gue. Awal-awalnya, kaki gue sering lecet. sampai sekarang masih sih

Belajar dari sandal pertama, gue jadi lebih jago dan terlatih dalam menahan perasaan. Jarak terlampau jauh, hingga linimasa/sosial media menjadi ruang baru. Sebenernya gue gak berani bilang sandal kedua gue ini adalah gebetan. Gue anggap sahabat, tapi nampaknya setingkat di atas itu. Bahkan sekadar jatuh cinta padanya pun gue gak tega. I dont know why, rasa-rasanya dia terlalu berharga untuk sekadar dijadikan pacar.

Merasa nyaman padahal belum terbiasa. Iya, semudah itu. Dengan tidak mencintainya secara brutal. Gue rasa, dapat menjaga perasaan ini agar tetap ada. Jadi, gue dan sandal gue ini tidak dekat atau pun jauh, tidak melepas atau pun menggenggam, kita hanya sedang menunggu waktu kapan akan benar-benar disatukan atau pun dipisahkan. Hilih

Dan gue juga belajar, berhubungan itu bukan bagaimana cara pamer, tapi tentang bagaimana cara agar merasa nyaman. Makanya sandal baru gue ini gak terlalu gue ekspos.

Entah, sandal baru gue ini akan bernasib sama seperti sandal lama gue apa enggak. Ingin rasanya melengkapi, namun takut membuatnya tidak seimbang. Ingin menyeimbangi, namun takut tidak stabil.

Layaknya sandal pertama, sandal kedua pun datang memberi kenyamanan. Gue jadi nyaman kemana pun itu. Berhubungan lewat linimasa, mengobroli hal-hal unfaedah, mendengarnya siaran, memperdulikannya, mendengar kisah-kisahnnya. Semua timbul begitu saja, seperti tersihir, apa gue mabuk cinta lagi? Tau ah

Satu hal yang gue gak bisa belajar dari sandal pertama adalah ‘mengungkapkan’. Maaf jika gue tidak pandai mengungkapkan, maaf jika gue tak pernah memberi ikatan jelas di antara kita.
Duhai cinta, apakah engkau akan menjaga diri di saat kita belum bersama? Hehehe


Inspired by : agstt

Read More