Malam itu gue merasa dilema yang sangat dalam, gak tau harus
senang atau harus sedih. Anjir lebay bat gue dah kayak bencong baru akil
baligh
Jujur, gue gak tau mau nulis apa. Niat mau nulis udah ada
dari zaman gue masih jadi sperma gak deng, cuma ngumpulin mood nulisnya
yang susah, udah kayak ngumpulin huruf ‘N’ pada permen YOSAN, sulit. Apa
yang gue pikir, gak sama dengan apa yang gue tulis. Udah nulis beberapa
kalimat, hapus lagi, nulis lagi, hapus lagi. Karena merasa tulisan yang gue
tulis gak oke. Gituh aja terus sampai Rudy Tabuty masuk pesantren.
Gue tipe orang yang gak nyaman bersepatu. Jadi, hidup gue
lebih sering gue habiskan untuk bersandal ketimbang bersepatu. Sandal
kesayangan yang setia menemani langkah gue bepergian kemana pun itu kecuali kalo bersepatu telah rusak, udah gak mungkin lagi dibenerin. Sekalinya
dibenerin pun bakalan rentan.
Sedih?
Ya bisa dibilang begitu, sandal itu memiliki banyak cerita pahit-manis bagi gue.
Saat gue jatuh cinta dengan gadis Sukabumi, sandal itu cukup berjasa.
Saat gue bener-bener jatuh karena cinta pun, sandal itu sangat berjasa.
Sandal mungil dan cerita cinta yang megah. Jujur, meninggalkannya sudah terasa pahit sejak dalam niat.
Sedih?
Ya bisa dibilang begitu, sandal itu memiliki banyak cerita pahit-manis bagi gue.
Saat gue jatuh cinta dengan gadis Sukabumi, sandal itu cukup berjasa.
Saat gue bener-bener jatuh karena cinta pun, sandal itu sangat berjasa.
Sandal mungil dan cerita cinta yang megah. Jujur, meninggalkannya sudah terasa pahit sejak dalam niat.
Ngapain sih bahas sandal nih si Ahmed? Gak penting
kampret
Sandal kesayangan di atas ibarat mantan [mantan gebetan
maksudnya] hehehe.
Sering chat-an, kode-kodean, telepon-teleponan, merasa ada yang hilang kalau tidak berkabar, sampai gue mabuk cinta bukan kepalang. Tapi apa boleh buat, kalau sudah waktunya rusak. layaknya sandal, hubungan juga akan rentan. Apalagi gue tidak memberikan kepastian. Paanci luh med
Sering chat-an, kode-kodean, telepon-teleponan, merasa ada yang hilang kalau tidak berkabar, sampai gue mabuk cinta bukan kepalang. Tapi apa boleh buat, kalau sudah waktunya rusak. layaknya sandal, hubungan juga akan rentan. Apalagi gue tidak memberikan kepastian. Paanci luh med
Memang benar, mabuk cinta membutakan mata. Rela melakukan
apa aja demi gebetan. Semua kekurangannya berasa ditutupi oleh cinta gue yang
besar kepadanya. Sampai-sampai ngelakuin hal-hal aneh yang kalau gue pikir sekarang
'Kok bego banget sih gue’
'Kok mau aja sih lu!'
'Kok bego banget sih gue’
'Kok mau aja sih lu!'
Rusak sandal, rusak hubungan. Mungkin gebetan gue itu telah
menghadapi realita dari menjalani suatu hubungan, apalagi hubungan gak jelas.
Ngegantung, kayak jemuran yang udah lama dijemur. Mengkerut. Realita dari suatu
hubungan adalah rasa bosan dan hasrat mencari yang baru. Mungkin itu yang melandanya.
Sebelum berevolusi menjadi bosan, perasaan itu pernah berwujud nyaman.
Kita berdua nampaknya hanyalah dua orang yang senang membohongi perasaan masing-masing, pura-pura tidak peduli, hingga akhirnya patah hati. Preet itumah elunya aja med
Perlahan, gue bisa merelakan sandal gue. Merelakan
bukan berarti cuek sepenuhnya. Merelakan itu ketika kita tidak keberatan
menghadapi apa pun, sadar punya masa lalu tapi tak melihat itu sebagai
penghalang.
Sampai sekarang pun, kita masih berhubungan baik. Ya sekadar memberi ucapan ulang tahun, balas-balasan insta-story bila pun perlu.
Gue juga masih sering dengerin, nge-like, komen-komen gak mutu saat dia siaran radio.
Begitu pun dengan sandal gue, masih tetap gue sayang dan gue simpan di kotak sakral gue.
Kecil kemungkinan gue pakai,
besar kemungkinan gue buang.
Lantas,
Sandal barunya?
Yaps, setelah berhari-hari gue minjem sandal temen
gue, akhirnya gue punya sandal baru. Butuh adaptasi untuk mencocokkannya dengan
sikil bau wangi gue. Awal-awalnya, kaki gue sering lecet. sampai
sekarang masih sih
Belajar dari sandal pertama, gue jadi lebih jago dan
terlatih dalam menahan perasaan. Jarak terlampau jauh, hingga linimasa/sosial
media menjadi ruang baru. Sebenernya gue gak berani bilang sandal kedua
gue ini adalah gebetan. Gue anggap sahabat, tapi nampaknya setingkat di
atas itu. Bahkan sekadar jatuh cinta padanya pun gue gak tega. I dont know
why, rasa-rasanya dia terlalu berharga untuk sekadar dijadikan pacar.
Merasa nyaman padahal belum terbiasa. Iya, semudah itu.
Dengan tidak mencintainya secara brutal. Gue rasa, dapat menjaga perasaan ini
agar tetap ada. Jadi, gue dan sandal gue ini tidak dekat atau pun jauh, tidak
melepas atau pun menggenggam, kita hanya sedang menunggu waktu kapan akan
benar-benar disatukan atau pun dipisahkan. Hilih
Dan gue juga belajar, berhubungan itu bukan bagaimana cara
pamer, tapi tentang bagaimana cara agar merasa nyaman. Makanya sandal baru
gue ini gak terlalu gue ekspos.
Entah, sandal baru gue ini akan bernasib sama seperti
sandal lama gue apa enggak. Ingin rasanya melengkapi, namun takut membuatnya tidak
seimbang. Ingin menyeimbangi, namun takut tidak stabil.
Layaknya sandal pertama, sandal kedua pun
datang memberi kenyamanan. Gue jadi nyaman kemana pun itu. Berhubungan lewat
linimasa, mengobroli hal-hal unfaedah, mendengarnya siaran, memperdulikannya, mendengar kisah-kisahnnya. Semua
timbul begitu saja, seperti tersihir, apa gue mabuk cinta lagi? Tau ah
Satu hal yang gue gak bisa belajar dari sandal pertama
adalah ‘mengungkapkan’. Maaf jika gue tidak pandai mengungkapkan, maaf jika gue
tak pernah memberi ikatan jelas di antara kita.
Duhai cinta, apakah engkau akan menjaga diri di saat kita belum bersama? Hehehe
Duhai cinta, apakah engkau akan menjaga diri di saat kita belum bersama? Hehehe
Inspired by : agstt